Selasa, 14 September 2010 | 03:17 WIB. Meski
lokasinya strategis di persimpangan, Stasiun Prabumulih, Sumatera
Selatan, adalah ironi perkeretaapian di Sumatera. Makin diandalkan
sebagai angkutan komoditas, tetapi kereta api ditinggalkan sebagai
angkutan penumpang.
Prabumulih sendiri merupakan salah satu kota besar di Sumatera Selatan,
selain Palembang dan Lubuk Linggau. Stasiun ini juga strategis karena
menjadi titik temu jalur kereta dari arah Tanjung Karang, Lampung, dan
Lubuk Linggau—Stasiun Kertapati di Palembang.
Namun, kini kondisi Prabumulih memudar. ”Sebelum tahun 1985, ada
sembilan rel yang dioperasikan di stasiun ini. Sekarang hanya tinggal
tiga rel saja,” kata Rismanto, petugas pengatur perjalanan kereta api
(PPKA) Stasiun Prabumulih, akhir Agustus lalu.
Saat ini Stasiun Prabumulih hanya dilewati empat kereta penumpang,
yaitu KA Limex Sriwijaya dan KA Ekspres Rajabasa (Kertapati-Tanjung
Karang) serta KA Sindang Marga dan KA Serelo (Kertapati-Lubuk Linggau).
Kereta kelas bisnis eksekutif Limex Sriwijaya dan Sindang Marga hanya
lewat sekali pada malam hari. KA Serelo dan Ekspres Rajabasa kelas
ekonomi lewat pada pagi hari.
Sebagai gambaran, Rismanto menuturkan, pada hari biasa, jumlah
penumpang dari Stasiun Prabumulih hanya 25-50 orang per kereta.
Padahal, pada pertengahan 1980-an, lebih dari 100 penumpang per hari.
Sejarah panjang
Ketua Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) Aditya Dwi Laksana
mengatakan, awalnya jalur kereta itu dibangun untuk mengangkut hasil
bumi dan perkebunan.
Buku De Stoomtractie Op Java en Sumatera karya JJG Oegema menunjukkan,
geliat Prabumulih dimulai setelah Hindia Belanda membangun jalur kereta
rute Kertapati-Prabumulih (78 kilometer) pada 1915. Disusul kemudian
jalur Prabumulih-Muara Enim (73 kilometer) tahun 1917.
Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1927, giliran dibangun jalur
Prabumulih-Tanjung Karang (311 km). Saat itu, operasi kereta di
Sumatera Selatan dikelola perusahaan Zuid Sumatera Spoorwegen.
Selain lokasinya yang strategis, Prabumulih juga punya daya tarik dari
sisi historis, seperti jejak lokomotif uap. Wujudnya bisa kita lihat
pada alat pengisian air sebagai bahan bakar loko berbentuk seperti
cerek.
Ada juga tangki bundar penampung air ukuran cukup besar yang terletak
di sekitar 20 meter dari stasiun. Tangki ini untuk mengisi air di
cerek-cerek tersebut.
Menurut Rismanto, cerek dan tangki air itu tak lagi berfungsi sejak
lokomotif uap berhenti pada 1985. Dulunya ada setidaknya enam jenis
loko uap di lintas itu, yaitu model B51, C11, C30, C50, D50, dan D52.
Cerek dan tangki pengisian air menjadi saksi sejarah Prabumulih yang
tersisa. Bangunan kuno Stasiun Prabumulih sendiri telah dirombak total
dan tidak tampak lagi keasliannya.
”Perombakan total bangunan Stasiun Prabumulih dilakukan sekitar tahun 1982 meski tak rusak,” kata Rismanto.
Stasiun Prabumulih harus segera dibangkitkan dengan menjadikan kereta
sebagai urat nadi transportasi. Jika tidak, mungkin cerita kereta di
Prabumulih bakal sekadar jadi dongeng saja.
(HARRY SUSILO/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/09/14/03173071/.senja.kala.stasiun.prabumulih